Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf?

Kali pertama membaca judul buku tersebut, yang langsung terlintas di dalam pikiran saya adalah “Seperti apa orangnya? Pasti luar biasa cakepnya!”. Dan ternyata bukan saya saja yang berpikiran demikian. Hampir setiap orang yang membaca sampul buku kumpulan cerpen penulis FLP Jawa Tengah (milik saya) ini, pikirannya langsung mengelana pada kisah klasik Nabi Yusuf dengan segala atributnya.

Yah, buku ini memang menarik. Tidak hanya dari segi judul dan perwajahannya saja, tetapi juga sekumpulan isi yang ada di dalamnya. Sehingga tidak berlebihan jika Joni Ariadinata menyebut buku ini dengan istilah ‘Kebun dan Taman’. Joni menyebutnya sebagai kebun karena kelima belas cerpen di dalam buku ini masing-masing menawarkan buah untuk dinikmati. Disebutnya dengan taman karena disamping menawarkan buah, kelima belas cerpen di buku ini juga menawarkan keindahan. Ya, perpaduan yang pas dan saling melengkapi dalam sebuah karya sastra. Kebun dan taman.

Ketika melihat keseluruhan isi buku ini, maka kita akan menyaksikannya sebagai warna lain FLP. Kenapa? Karena jika selama ini karya-karya FLP dikenal sebagai karya dakwah yang mengesampingkan nilai-nilai sastra dan sering mencantumkan nasehat-nasehat verbal dalam karyanya, maka di dalam KOAMNY ini kedua hal tersebut tidak kita jumpai apa adanya. Di sini mengandung arti bahwa FLP menyajikan karya dakwah dalam versi lain. Tanpa menggurui.

Sebagai contoh, mari kita tengok cerpen KOAMNY karya A. Adenata. Cerpen yang judulnya dijadikan sebagai judul utama buku ini, sekilas tampak biasa saja. Bahkan mungkin kita akan berkomentar “Kayak gak ada tema dan alur lain saja. Masa sih nyontek kisah nabi Yusuf beneran. Tema sama, alur juga sama persis. Klasik!” Tapi tunggu sebentar, lihatlah cuplikan KOAMNY berikut (yang membuktikan bahwa tema ini memang sengaja diracik secara apik. Bukan suatu ketidaksengajaan):

Tuan…! Zulaikha telah menggodaku seperti Zulaikha dulu menggoda Yusuf. Wanita-wanita tangannya tercincang ketika melihatku pada perjamuan makan, sama seperti wanita-wanita dulu melihat Yusuf tanpa sadar tangannya juga tercincang. Selanjutnya saya juga bisa mentakwilkan mimpi pejabat seperti Yusuf yang dulu mentakwilkan mimpi pejabat. Tuan…! Agar kisahku genap seperti Nabi Yusuf, aku punya permintaan”

“Apa itu. Sebutkan?”

“Aku ingin seperti Nabi Yusuf yang mendapatkan jabatan urusan keuangan agar bisa mencegah terjadinya krisis pangan.”

“Apa…?” sang pejabat kaget.

“Berani sekali Kau memintaku seperti itu. Siapakah Kau? Hingga berani meminta itu kepadaku!” sang pejabat marah.

“Aku Tuan. Aku yang mirip Nabi Yusuf!” Suaraku lantang.

“Apa! Kau mirip Nabi Yusuf. Bercerminlah dulu sebelum berkata!” bentak sang pejabat.

Dari sini kita bisa membaca apa yang mungkin ingin disampaikan oleh si penulis. Bahwa segala peristiwa/sejarah sebenarnya bisa terulang. Hanya saja terkadang manusia tidak mau belajar pada sejarah tersebut, sehingga akhirnya dia masuk pada kegagalan yang sama seperti masa lampau. Secara eksplisit A. Adenata juga menyebutkan, bahwa sesuatu yang terjadi berulang-ulang akhirnya akan semakin membekas dalam jiwa. Tuduhan `Mirip Nabi Yusuf` yang terus menerus menimpa tokoh `aku`, menjadikannya yakin bahwa si `aku` memang benar-benar mirip Nabi Yusuf. Cerpen ini cukup menarik, meskipun di akhir cerita penulis `berhasil` membuat bingung pembaca dengan ending terbukanya yang kurang mengena.

Kemudian, mari kita perhatikan cuplikan karya Aveus Har berikut:

Parjo menahan napas. Mendekat ke bibir ranjang. Dengan hati-hati diulurkan tangannya. Keahlian yang lama tidak digunakan kini masih bisa dia lakukan dengan sempurna. Gelang di pergelangan wanita itu telah berpindah ke sakunya.

Cukup.

Atau tidak sekalian kalung emas di lehernya?

Tidak. Parjo tidak mau serakah. Beberapa gelang emas ini cukup untuk membayar uang sekolah Ratmi. Cukup untuk beli sepatu Dudung. Dan sisanya bisa digunakan untyuk jajan anak terkecilnya yang masih balita.”

Apa kira-kira yang ingin ditunjukkan oleh Aveus Har? Yah, benar. Rasa cukup yang selalu ada dalam jiwa-jiwa manusia biasa. Yang penting keluarga bisa makan, anak bisa sekolah dan bisa jajan. Tidak lebih. Berbeda dengan orang-orang `atas`, yang selalu ingin lebih, lebih dan lebih. Di sini secara eksplisit juga tersampaikan bahwa segala sesuatu memang memerlukan keahlian. Termasuk kehalian mencuri.

Di lain paragraf, Aveus Har menuliskan:

Itu alasannya. Dia tak peduli toko tersebut mengambil keuntungan besar dengan harga penawarannya. Yang musti diperdulikan adalah istri dan anak-anaknya. Mereka butuh banyak uang untuk kehidupan yang lebih layak sebagai keluarga terpandang. Jabatan Kepala Sekolah adalah jabatan terhormat. Maka gaya hiduppun harus gaya hidup orang terhormat.”

Dalam cerpen berjudul `Maling` tersebut, Aveus Har mengajak pembaca untuk `membaca` ironi tentang keadilan di negeri ini. Tentang Maling yang kadang diartikan sempit oleh masyarakat. Tentang Maling yang tersembunyi di dalam kantor-kantor/ instansi dan `terdiamkan` saja oleh negara. Dan ironisnya, maling dan `maling`(baca:koruptor) itu menggunakan hasil uang curiannya untuk keluarga-keluarga mereka.

Selain dua prajurit pena di atas, ada prajurit-prajurit lain yang tidak kalah kreatif. Ada Afifah Afra dengan `Perjamuan Malaikat`nya yang mengingatkan kita pada tragedi kelaparan para jamaah haji beberapa waktu yang lalu. Ada Izzatul Jannah dengan `Sudah Mati`nya yang mengobrak-abrik pikiran kita tentang tokoh legendaris Soeharto nan multitafsir. Ada Titaq Muttaqwiati dengan `Elang Hilang Sayap`nya yang kental nilai islamnya. Ada Sakti Wibowo dengan `Battumi Anging Mamiri`nya yang kental nuansa Makasarnya. Khusus untuk Sakti Wibowo, saya agak kurang sepakat dengan pilihannya mengangkat nuansa Makassar. Rasanya agak kurang membumi mengingat antologi ini diterbitkan atas kerja sama FLP Jawa Tengah dengan Taman Budaya Jawa Tengah. Kenapa tidak mengangkat tema kedaerahan Jawa Tengah saja yang tentunya juga kaya warna? Kenapa tidak menulis dengan budaya Jawa Tengah saja? Atau mungkin Sakti Wibowo sudah lupa dengan etnik Jawa Tengah? Semoga saja tidak, seperti yang diungkapkan Afifah Afra dalam pengantarnya :”Ia tetap saja bangga sebagai wong Baturetno. Kalaupun cerpen yang ia tulis sangat kental rasa Makassar-nya, itu menunjukkan bahwa ia ternyata seorang yang gemar berselancar di area multietnik.”

Selain nama-nama yang sudah disebutkan di atas, ada juga Nassirun Purwokartun dengan `Agustus Tahun Depan`nya yang membawa kita pada wacana menunda, menunda, dan menunda. Ada Jazimah Al-Muhyi dengan `Barongan`. Ada M.N. Furqon dengan `Ziarah Batu`nya yang mengajak kita menengok pada zaman materialistik saat ini, dimana segala sesuatunya diukur dengan uang. Kemudian ada `Kerbau Pak Bejo`nya Rianna Wati yang meskipun di ending cerita, Rianna belum membawa konflik pada suatu penyelesaian (hingga pembaca sulit membaca apa yang diinginkan oleh penulisnya), namun cerpen ini cukup membuka mata kita tentang nilai sebuah harga diri dan perjuangan untuk hidup.

Di dalam `Jenmani untuk Ibu` karya Deasylawati P, kita diajak menyaksikan sebuah implementasi tentang `Surga di telapak kaki ibu`. Sardi, sang tokoh utama digambarkan sebagai lelaki yang merelakan waktu dan biaya yang besar untuk memenuhi keinginan ibunya, yaitu memiliki Tanaman Jenmani. Meskipun akhirnya Sardi tertipu karena ketidaktahuannya (tentang Jenmani), hingga uangnya dalam jumlah besar melayang, Namun kita trekesima dengan pengorbanan Sardi untuk Ibundanya tersebut.

Selain itu ada juga `Surat Buat Tuhan` karya Nashita Zayn, `Matahari Tergadai` karya Sunarno, `Bendera Bawang` karya Prana Perdana dan `Kyai Sanca wangsit` karya Kresna Pati.

Secara umum, dapat kita lihat bahwa nama-nama penulis yang tergabung dalam lima belas penulis KOAMNY ini adalah penulis-penulis besar Jawa Tengah yang karya-karyanya sudah malang melintang di dunia penulisan dan perbukuan. Hanya segelintir orang yang termasuk baru, yaitu tiga nama yang saya sebut terakhir tadi.

Kita semua maklum, bahwa semakin besar dan semakin dikenal nama penulis, maka semakin besar nilai tawarnya serta semakin tinggi harga jualnya.

Namun demikian, bukan berarti FLP hanya menampilkan nama-nama yang sudah besar saja dalam setiap antologinya. Karena yang namanya pengkaderan adalah membesarkan sesuatu yang kecil, dan mempertahankan serta meningkatkan sesuatu yang sudah besar.

Jadi, secara tidak langsung munculnya KOAMNY merupakan tantangan tersendiri untuk penulis-penulis FLP yang masih `kecil` untuk lebih gigih menulis, sehingga kelak muncul KOAMNY 2 dengan nama-nama penulis baru.

Sebagai penutup, saya katakan bahwa munculnya KOAMNY juga bisa menjadi bukti dan jawaban bagi kalangan pecinta buku yang anti label FLP, bahwa karya FLP juga memiliki nilai sastra yang kuat dan patut diperhitungkan. Bukan sekedar `karya sampah`. Jika ada beberapa titik yang perlu perbaikan, maka kita mengganggapnya sebagai buah dari pepatah `Tak ada gading yang tak retak`.(y2h/0908)

Pekalongan, 27 September 2008

Ditulis dalam UraIaN buku. 4 Comments »

4 Tanggapan to “Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf?”

  1. sunarnosahlan Says:

    terima kasih atas dibahasnya karya dalam Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf. Dan maaf, saya (Sunarno)bukan termasuk tiga yang terakhir, meskipun memang kurang produktif, karena lebih banyak berkutat dengan pendidikan dan editor majalah pesantren.
    bagi saya pribadi semoga ini bisa menambahkan semangat untuk senantiasa meningkatkan kemampuan menulis.

  2. Aveus Har Says:

    Assalamu’alaikum,

    sungguh, Komunitas Rumah Imaji beruntung kamu tergabung di dalamnya. meski sekarang aktivitasmu dalam rumah imaji belum optimal, itu tdk mengapa. karena Komunitas Rumah Imaji hanyalah nama. Yang penting adalah penghuni rumah tersebut. Kelak, dengan nama apapun sebagai identitas (dan sungguh nama hanyalah sebuah identitas yang bisa berubah-ubah), semoga mimpi kita ketika membangun Rumah Imaji bisa terwujudkan dengan lebih optimalnya peran kamu dalam mendayagunakan komunitas sebagai media bercengkrama, berbagi rasa, bertukar pengalaman, bertukar informasi dan lebih penting, belajar bersama utk kemajuan karya kita.

    terima kasih.

  3. sakti wibowo Says:

    Asslm…

    Inysa Allah, Mas… Jawa saya ndak ilang, kok…! Hehehe…
    Memang, masuknya Battumi Anging Mamiri di antologi ini menjadi “agak” timpang mengingat semuanya berwarna lokal Jawa. Saya sendiri pada saat penyusunan buku ini mengirimkan beberapa cerpen dan ternyata cerpen ini yang dipilih. Justru yang warna lokal Jawa tidak dipilih.
    Mungkin ada pertimbangan dari pihak Indiva, mengenai tema, atau kritik sosial yang diangkat.
    Wallahu a’lam.

    Tapi, terima kasih untuk apresiasinya Mas….

  4. ya2h Says:

    ini perempuan lho mas sakti…
    hehe… kok panggilnya saya mas sih?

    salam kenal dr saya…
    salam dr FLP Pekalongan y…
    salam juga dari rumah imaji mas ave tuh…kpn ke pekalongan?

    salam kreatif!


Tinggalkan komentar